Sabtu, 23 Juli 2011

karya seusai tidur


Uyuang di masa kini
            Tak banyak yang ada di pikiranku, yang ada sekarang hanya beberapa masalah kecil yang sebenarnya bukanlah suatu masalah. Tapi entah mengapa hal itu selalu bagayuik di kepalaku yang berambut pirang ini. Padahal aku adalah asli orang Minang, tak ada campuran antara amak dengan abak. Aku terlahir dari seorang ibu yang notabene adalah orang minang tok. Amak ku berasal dari Payakumbuh, tepatnya Simpang Ampek. Orang-orang menyebut daerah itu dengan sebutan mudiak, atau Payakumbuh coret. Karena memang tempatnya sudah jauh dari pusat kota. Namun, setelah menikah dengan abak, laki-laki tampan yang menjadai dambaan anak gadih masa itu kata amak menjadi pendamping hidupnya, amak pindah ke Padang, lantaran abak bekerja di Dinas Pekerjaan Umum kota Padang.
            Amak bagiku adalah wanita yang paling baik dan paling kuat se dunia. Amak telah menjadi Samsonwati dalam hidupku. Amak berjuang demi kelangsungan hidup kami, beliau harus banting tulang semenjak abak meninggal sewaktu umurku masih lima tahun, dan adikku Faizah baru berumur enam bulan. Jarak kelahiran kami memang agak jauh. Meskipun amak masih tampak muda, namun ia tak mau mencari suami baru. Bukannya beliau tak laku, tapi beliau tidak ingin membebani orang lain dengan beban yang sudah ada padanya. Kami. Padahal, menurut cerita amak, dulu ada seorang pemuda dari Jambi yang ingin menjadikannya istri, namun amak menolak. Amak sekarang berjualan kain di Pasar Raya Padang. Pedagang kaki lima. Setiap hari amak berangkat dari rumah jam tujuh pagi, dan pulangnya sekitar jam lima. Sesampainya di rumah amak tinggal istirahat, karena segala pekerjaan rumah sudah dikerjakan oleh Faizah. Adikku. Yang kini sudah kelas dua SMA di kota Padang.
            Terkadang aku membantu beliau berjualan jika libur kuliah. Tapi hanya kadang-kadang, karena jadual kuliahku yang semakin padat, maklumlah sekarang aku sudah memasuki semester kelima, itu artinya masa kuliahku tinggal tiga semester lagi. Aku kuliah di Jurusan Ekonomi Prodi Manajemen. Aku sangat ingin dan bercita-cita bekerja di kantor pajak nantinya, bahkan tak tanggung-tanggung  ku ingin menjadi menteri keuangan Negara. Menarik bisik batin ku. Meskipun ku besar di kota Padang, namun kami sekeluarga tetap sering pulang kampung ke Payakumbuh. Apalagi sedang libur semester. Bisa dikatakan masa kecilku adalah sumbangan dari kampung halaman. Karena setiap liburan ku selalu di sana, menghabiskan masa santai dengan orang-orang kampung. Sangat menyenangkan, di sana ku akan dimanja oleh inyiak (nenek), gayek (kakek), etek, pak Ngah, Mak Etek, dan lain-lain yang tak bisa ku sebutkan satu persatu. Maklumlah aku adalah cucu laki-laki satu-satunya dari pihak Ayah.
            Meskipun aku duduk di jurusan Ekonomi, tapi sangat suka menulis, menulis apa saja ; fiksi, non fiksi, artikel, feature. Ku sangat suka, dan terkadang tulisanku dimuat juga di Koran local seperti Singgalang, Padang Ekspres, atau ku upload di akun di internet yang ku punya. Ku akan menulis apa yang ada dalam pikiranku, dan terkadang batu kecil yang ada di tengah jalan bisa ku jadikan ide cerpen, paling tidak ide puisiku. Menulis. I very like it.
***
            Semburat Magenta sudah menyebar menghiasi di ufuk barat. Sebentar lagi gelap akan menyelimuti alam raya dan semua akan kabur dari pandangan. Takkan terlihat tanpa cahaya bantuan yang berasal dari listrik ataupun lampu minyak. Yang terpenting adalah penerangan.
            Angin sepoi-sepoi menyapa wajahku  yang tirus, angin membelai lembut pipiku yang dihiasi sedikit jerawat. Namun, kata teman-temanku, wajahku tetap tampan meskipun ada jerawat yang bermunculan. Pasalnya, mereka menilai ketampanan hanya dari segi fisik. Kalau dilihat dari segi fisik bisa dikatakan bolehlah. Mereka mengatakan bahwa aku tampan karena postur tubuhku yang lumayan, dengan tinggi 185 sentimeter, ditambah dengan kulitku yang kuning langsat, serta rambutku yang pirang menambah wajahku makin gagah. Kata mereka. Suara lain pun membisikkan bahwa percampuran antara wajah Indonesia dengan sedikti Oriental menambah ketampananku. Tersipu.
            Biarlah mereka berkata apa tentang diriku, namun ku sudah menanamkan dalam hati, ini adalah karunia Tuhan, tak patut ku sombong karenanya. Kadang ku ingin membuktikan apa kata teman-temanku. Setelah mandi sore tadi, ku berdiri di depan cermin berukuran setengah badanku yang terletak di samping jendela kamarku yang dihiasi oleh kain warna coklat tua dengan motif bunga kecil-kecil berwarna merah. Agaknya penempatan cermin itu sudah diatur oleh adikku Faizah, Izah atau Aai panggilan kesayangannya dariku sengaja meletakkan kaca di samping jendela. Mungkin hal ini agar pantulan cahaya matahari tidak menggelapkan wajahku saat bercermin, karena jendela kamarku tepat menyambut sang mentari dari peraduannya. Selain itu, mungkin juga Aai sengaja agar aku mudah mengambil semua perlatan make up ala cowok yang ku punya. Hanya ada bedak tabur, parfum, serta minyak rambut yang tergeletak sembarang di meja besar warna coklat mengkilat yang sekaligus meja belajarku.
            Lama ku pandangi wajahku, ku tersenyum sendiri melihat wajahku. Ada pertanyaan dalam hatiku. Apakah aku ini tampan? Sebenarnya apa sih ukuran tampan bagi teman-temanku?. Aku jadi heran, apa iya dengan rambut pirang akan terlihat lebih tampan?. Ku rasa tidak. Tapi, tiba-tiba ada rasa yang menggelitik hatiku. Ku teringat temanku semasa SD dulu. Badar. Atau lebih lengkapnya Badaruddin Al Anshari. Dia adalah teman baikku, pepatah minang mengatakan konco dakek lawan barek (teman dekat lawan berat). Hal ini diistilahkan karena keakraban kami yang teramat sangat. Namun, kami berpisah karena ayah Badar yang bekerja jadi dokter harus pindah tugas ke Bandar Lampung, sehingga Ia dan keluarganya pindah ke sana.
            Kemaren setelah sekian lama kami berpisah, kami dipertemukan lagi dengan Badar. Teman kecilku. Masih sangat lekat dalam ingatanku, selang beberapa waktu Ia di Lampung, kami masih saling tukar kabar melalui surat. Bertukar cerita liburan, dan untuk melepas kerinduan, kami saling menukar foto. Dalam potret kecil itu, ku melihat Badar remaja yang tampan, kulitnya hitam manis, hidunnya mancung, serta rambutnya yang cepak dengan warna hitam. Ia sangat mirip tentara battalion, karena foto itu adalah foto sewaktu Ia mengikuti pawai Tujuhbelasan di Lampung dengan mengenakkan pakaian tentara.
            Rasanya ku tak percaya melihatnya, rasanya Ia bukanlah Badar teman kecilku yang mungil dan hitam. Sangat berbeda dari foto-foto yang dikirimkannya padaku tempo hari, sewaktu SMA kelas tiga semuanya masih seperti dulu. Namun, lama kami tidak berkomunikasi meskipun sudah ada alat untuk berkomunikasi dengan mudah. Handphone. Tapi, rasanya hal itu makin menjauhkan kami, mungkin Badarku sibuk dengan kawan-kawannya yang lain. Aku mahfum. Laki-laki bertubuh kecil itu berdiri tepat di sampingku. Aku sangat terkejut saat Ia menepuk pundakku, sungguh ku tak menyangka Ia adalah sohibku.
“ Hoi….. Uyuang, ngapain kamu, semakin-semakin sajo kini yuang”. Badar menyapaku dengan panggilan sehari-hariku.
“Eh….ehh…. Ba….ba…dar”. terbata-bata ku mengucapkan namanya, sangat dan sungguh kejutan, selain karena rasa rindu seorang kawan terhadap temannya, juga karena perubahan yang begitu drastis. Badannya kini tinggi dan kekar, kalau menurutku itu wajar, mungkin karena Badar sudah bosan dengan julukan SEMEKOT alias semester kotor. Tapi, yang lebih mencengankanku adalah bagian atas kepala Badar. Bukan karena botak atau kepalanya bolong, tapi warna rambutnya yang sangat kontras dengan warna kulitnya. Kulit Badar bisa dikatakan hitam, bahkan mengkilat, karena Badar adalah campuran antara Padang dan Ambon, dan bumbu dari Ambon lebih mendominasi, sehingga kulitnya jadi hangus alias kamek atau kaliang mangkilek. Dia akan tetap tampan dengan kulit seperti itu, tapi rasanya mataku agak terganggu dengan warna rambutnya yang merah maroon, dan diselingi dengan warna kuning emas. Sungguh aneh rasanya, menurut cerita yang ku dapat darinya, hal seperti ini adalah tren, mode masa kini, akan lebih tampan jika kita berambut pirang. Katanya.
            Sesaat ku tersenyum sendiri, mengapa hal ini sangat berbeda dengan cerita amak dan abak. Masih ku ingat ketika abak masih hidup, beliau sering bercerita tentang pemuda di zaman beliau. Dulu kata abak setiap anak bujang(laki-laki) meninginkan rambut yang hitam mengkilat. Termasuk abak. Berbagai cara dilakukannya. Mulai dari memakai semir rambut, minyak kemiri, atau kemiri bulat dibakar dan minyaknya dioleskan ke rambut. Dan lihatlah besok pagi, rambut akan hitam dengan bau yang menyengat. Bahkan, kata abak ada hal konyol yang dilakukan untuk menghitamkan rambut, yaitu dengan melumuri rambut dengan getah jariang (jengkol) yang ditumbuk halus sampai keluar getah. Akibat kerja konyol itu, tak hanya rambut yang hitam, wajahpun bisa hitam karenanya.
            Lain lagi dengan cerita amak, dulu anak gadih (para gadis) menghitamkan rambutnya dengan cara mengoleskan pati santan kelapa setiap pagi, sehingga rambut akan hitam dan licin. Tapi, pada kenyataannya sekarang sangatlah berbeda, ku lihat tak hanya kaum laki-laki yang mewarnai rambut, kaum perempuanpun turut serta. Bahkan perempuan sekarang yang kulihat ada yang berambut pendek, hanya dibawah sedikit dari telinga. Tiba-tiba ku teringat lagi cerita amak tentang anak gadis zaman dulu. Beliau sangat senang bercerita sebagai pengantar tidurku. Beliu menceritakan tentang etek Minah, tetanggaku di Payakumbuh yang dilamar oleh orang Kelantan Malaysia untuk menjadi istrinya, hal berawal dari cerita orang-orang kampung yang mengatakan bahwa rambut etek Minah sampai ke lutut, namun perantau itu tidak bisa melihat rambut etek Minah karena beliau memakai jilbab, saat itu etek Minah sedang sekolah di Madrasah Aliyah. Oleh karena rasa penasaran dan suka dengan rambut panjang maka perantau tadi melamar etek Minah. Kabar terakhir yang ku dapat tentang etek Minah adalah beliau sudah mengajar di sekolah tinggi agama di negeri Jiran itu. Dalam bayanganku etek Minah sangat cantik. Meskipun ku tak pernah melihatnya.
            Senyumku terus mengembang, mengingat temanku Badar yang sekarang seperti jelmaan iblis api seperti di film Wiro Sableng yang dulu pernah ku tonton.
“Uda…..Uda Uyuang, amak memanggil Uda, cepatlah keluar”. Suara adikku Aai memecahkan lamunan dan kenangan yang sedang berputar layaknya komedi putar dalam otakku. Dan ku segera berlalu untuk menemui amak yang memanggilku tadi.
Ado apo mak?”. Jawabku ringan sembari memperhatikan perempuan setengah baya yang sedang merapikan meja tamu, mungkin tadi ada tamu, tapi ku tak tahu karena mengingat perubahan Badar temanku.
“Ini Yuang, tolong amak, besok etek Samsiar akan datang menengok kita dari Payakumbuah, berarti amak nggak bisa ke pasar, jadi Uyuang dengan Aai yang ke pasar ya… lagian besok kan libur Yuang”. Amak berbicara dengan sangat lembut, sehingga tidak ada kata untuk menolak permintaan beliau.
“Baiklah, Mak!. Sekarang Uyuang mau ke masjid dulu, sudah azan Datuak Bagindo tadi. Assalamualaikum”. Ku meninggalkan rumah setelah garim masjid Baitul Makmur mengumandangkan azan Magrib.
***
“Uuuukkkhhh…..”. kerongkonganku terasa gatal dan kering, cuaca hari terasa agak lebih panas dan kering dari sebelumnya, ditambah lagi dengan debu yang terbang bebas kian kemari, dan masuk ke lorong tenggorokkan dan hidung setiap orang yang lewat. Gerah.
            Dari kejauhan ku melihat seseorang yang sedang berjalan menyibak debu yang bergulung-gulung dibawa roda kendaraan pejabat universitas. Meskipun debu menghalangi penglihatan namun sangat terlihat jelas bahwa orang itu akan menuju arahku. Makin dekat dan dekat, gadis itu manis. Tepatnya anggun dan bersahaja. Tidak. Lebih bagus kalau dikatakan gadis itu sopan. Ketika Ia melewatiku, seutas senyum yang hanya sebentar menyinggahi mataku, menjadi hiasan diantara debu yang menyesakkan mata. Senyum yang manis, tapi tidak menggoda, seulas senyum menandakan hormat atau menghormati saudara. Juga member sedekah pada saudara yang sedang dikepung debu jalanan.
            Gadis yang manis. Hatiku berbisik kecil. Namun tak ku hiraukan, karena setelah gadis berkerudung krem dengan baju yang hampir lutut serta rok dasar berwarna coklat dipadu dengan kaos kaki coklat muda tadi, lewat seorang gadis lagi dengan pakaian yang sangat berbeda. Kalau tadi, bisa dikatakan biadadari surge ala diriku, karena pakaiannya sangat sopan, bahkan sangat berbeda dengan gadis yang sekarang berada di depanku sambil senyum centil tak tentu.
            Gadis tadi memakai jilbab yang menutupi tubuhnya. Menurutku Ia melindungi badannya dengan pakaian takwa itu, tak ada celah yang bisa dilihat dari badannya, kecuali muka dan telapak tangannay. Itupun kalau Ia menghadapkan tangannya ke mukaku. Dan yang sekarang kulihat gadis yang memakai celana yang sangat sempit. Awalnya ku mengira Ia memakai celana adeknya, apalagi celananya sangat tipis, sehingga…tak usahlah ku jelaskan nanti akan tahu sendiri. Lalu ditambah dengan bajunya yang juga mungkin bajunya ketika memiliki berat badan 45 kilo, dan sekarang 60 kilo, terbayangkan seperti apa???
            Sangat ku rasakan perbedaan antara gadis pertaman tadi. Saat senyumnya singgah di kedua bola mataku, terasa ada kenyamanan yang menyirami lensa mataku saat debu berebut masuk dalam matahari badanku. My eyes. Senyum dengan penuh keihlasan, tanpa ada unsure rayuan yang akan membuat laki-laki tergoda, bahkan menginginkan senyum itu, bahkan orangnya. Senyum manis dan tulus. Amboi. Tapi, rasanya cewek manis dengan rambut sebahu tadi seolah ingin menggoda dan membuat naluri kelaki-lakianku muncul, senyum yang mengharap respon. Mungkin saja dalam senyum itu tersimpan pesan agar aku menanyakan namanya atau nomor teleponnya. Maklumlah aku adalah termasuk cowok yang susah didekati para cewek yang menginginkan cinta monyet dara muda sepertiku.
***
Sebentar lagi perkuliahan pertama akan dimulai. Namun, sekarang ku masih berada di rumah, entah mengapa ku terlambat bangun. Sejenak ku berpikir mengapa ku bisa terlambat. Padahal tadi malam Aai membantuku membuat tugas. Mengetik. Dan ku rasa tak ada yang kulakukan, apakah aku sedang lupa ingatan. Tidak. Sedikit terlintas dalam kepalaku tentang apa yang kupikirkan. Ternyata ku sedang menuliskan tentang dua gadis yang kulihat tadi siang, dan pagi hari ternyata ku menulis sudah lebih dari sepuluh lembar.
Saat ku baca lagi ada rasa gelid an aneh dalam hatiku, hatiku sumber segalanya, tempat semuanya berpusat dan bermuara, Ia memuntahkan rasa-rasa yang menempel di dindingnya. Saat ku baca baris pertama bercerita tentang gadis yang mengenakkan pakaian takwa. Perlu ku tekan kan di sini, aku tidak menilai ia hanya dari segi fisik namun juga dari dalam atau inner beautynya. Gadis yang masih kokoh dengan pendiriannya dengan model pakaian seperti itu, layaknya gadih minang zaman dulu yang sering diceritakan amak pada Faizah, bahwa anak gadis minang itu berpakaian sopan. Menutup badan, dan pakaian itu dinamai baju kuruang sejenis baju yang panjang dengan stelan rok dan identik bahkan memang dibubuhi dengan kerudung alias jilbab. Terbersit dalam hatiku, zaman demokrasi sekarang yang serba bebas, bahka badanpun bebas keluar dari pakaian. Ia tetap memakai baju seperti zaman dulu. Tapi tak bisa kunukilkan hati ini. Betapa baju itu sangat anggun, baju yang menghalangi hayalan sintingku kepadanya.
            Sudah kucoba untuk membayangkan bagaimana bentuk tubuhnya. Gemukkah atau kuruskah? Ataukan badannya langsing, atau daging pinggulnya mengamuk keluar hingga membentuk kotak-kotak atau lebih tepatnya seperti roti orang London? Semua itu tak bisa kubayangkan karena seluruh badannya terlindungi oleh pakaian dan jilbab yang menutupi tubuh itu dengan rapi. Lalu kucoba untuk membayangkan apakah tangannya mulus, lembut bak salju yang memberikan kesejukan. Sejenak kucoba berhayal, namun hayalan sintingku buyar karena ku sama sekali tak pernah menyentuh tangannya, bahkan melihat telapak tangannya tidak. Dan ku juga tak pernah melihat Ia berjabat tangan dengan laki-laki. Ku gagal untuk kedua kalinya dalam dunia hayalku tentang sang Gadis Surga.
            Sebagai seorang pejuang, kucoba lagi untuk membayangkan bagaimana bentuk kakinya, tangannya, rambutnya, dan semuanya. Bahkan matanya pun ku tak bisa membayangkannya untuk saat ini. Ketika ku mencoba memutar pikiran untuk membayangkan tungkai kakinya, ku terhalang oleh roknya yang lebar, bahkan ruas jarinya tak bisa ku angankan karena dibatasi kaos kaki coklat muda yang selalu setia di kakinya. Tangannya, entah apa bentuk tangannya, selalu dibaluti dengan baju lengan panjang dan masih ditambah dengan perangkat lain (manset tangan). Rambutnya, entah hitam, merah, putih, abu-abu, sekian warna sudah bergumul dalam otakku, namun tak satupun yang bisa melukiskan bentuk rambutnya yang selalu ditutupi dengan jilbab, bahkan terkadang jilbabnya tak hanya satu. Dua. Sepasang mata yang selalu melihat, tak bisa ku bayangkan dengan seksama, karena setahuku mata itu tak pernah melihat sembarangan. Tak pernah ada rasanya kulihat matanya “jalan-jalan”. Bisa kukatakan, ku gagal dalam percobaan kali ini. Aku menyerah. Tak ada yang bisa ku bayangnkan karena tak ada bayangan sediktipun.
            Penat ku memikirkan cara untuk berimajinasi tentang gadis manis berkerudung krem itu. Sesaat kulayangkan angan kepada gadis yang satu lagi. Entah mengapa dengan mudah ku membayangkannya. Apakah aku seorang yang mempunyai imajinasi tinggi. Tidak. Buktinya aku gagal pada percobaan pertama. Sangat berbeda dengan sekarang, dengan mudah ku bisa membayangkan bagaimana bentuk tubuhnya, rambutnya, tangannya, kakinnya, matanya, semua tersedia di depan mataku. Apakah ini salahku? Ku rasa tidak. Karena ku sudah mendapati semua itu dengan sendirinya. Ia dengan sengaja ataupun tidak melihatkan bentuk badannya yang terkadang hanya memiliki badan kecil. Mirisku memikirkannya, seorang gadis minang yang diatur adat,  lebur dengan budaya asing yang merasuk ke sandi-sandi budaya yang bernorma. Amak pernah mengatakan tentang gadih minang sebagai limpapeh rumah nan gadang. Sepertinya ku tak lagi menemukan hal itu, yang ada hanya limpapeh alam gadang.
            Ku masih memikirkan tentang adat yang sudah ditinggalkan oleh kaumnya. Ku melihat sekarang ini banyak rang mudo yang malu memakai adat minang. Dulu ku masih ingat, permainan yang sangat ku gemari, tuki-tuki, permainan tradisional yang terbuat dari buluah(bambu). Namun sekarang, mulai dari anak-anak sampai orang dewasa asyik menghabiskan waktunya di depan TV. Playstation. Selain itu, masih anyar rasanya, saat-saat yang paling ku tunggu adalah malam minggu. Kami sekeluarga; abak, amak, Faizah dan aku akan pergi menyaksikan acara yang rutin diadakan di lapangan setiap minggunya. Randai. Tapi sekarang ini, yang ku lihat adalah deretan muda-mudi yang sibuk mondar-mandi mamadek labuah hilia mudiak dengan motor. Ada yang nonton konser, karaoke, nongkrong di mall, dan lain sebagainya yang tak pernah ku tahu, karena memang ku tak pernah mencoba hal semacam itu.
            Hatiku berbisik seakan mengingatkanku tentang janji nek oleng, seorang penjuang siriah berjanji akan mengajakku melihat permainan salawat dulang yang mendatangkan peselawat terkenal kala itu yaitu dari pesisir selatan. Ku pernah mendengar dari abak tentang salawat dulang, permainan yang dimainkan oleh dua orang yang saling berjawab pantun, dan berjawab kisah. Menurutku mereka adalah orang hebat, karena mereka bisa menyajikan cerita-cerita lama atau yang sering disebut oleh nek oleng dengan kaba itu dengan menarik. Tak hanya orang tua tapi juga muda-mudi.
            Ku tak sabar menunggu nek oleng, dari pagi hingga sore ku duduk di beranda ruma menunggu sang nenek. Ku berharap bisa duduk dekat peselawat, sehingga bisa menyimak ceritanya dengan baik. Senja sudah menggantikan posisi siang, sekarang gelap sudah merajai semesta, ku sudah siap dengan segala persiapan, suluah (obor), kacang abuih(kacang rebus), dan kain sarung.
“Uyuuuuaaaaaaaaaaaaanggg…”. Hatiku sangat girang dan gembira karena sang nenek sudah datang.
“Uyuang…ndak kuliah nak???”. Seketika amak membuyarkan kenangan yang sedang terjalin dalam memori otakku, ku kira yang memnggil adalah nek oleng, ternyata amak  yang sudah berdiri dari tadi di sampingku.
“Uyuang…. Nggak kuliah, Mak!”. Ku tak pergi kuliah, karena ku sudah terlambat,ku ingin masa kecilku lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar